Senin, 10 Januari 2011

6 Irreversible Trends : Harga Emas di Era Doomy Gloomy-nya US$...

Bagi para pembaca yang sempat lemas dengan turunnya harga emas dan Dinar secara drastis sepanjang pekan lalu, tulisan ini barangkali bisa menjadi pengobatnya disamping tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Bijak berinvestasi : Memahami Time Horizon Harga Emas...”. Tulisan ini saya sarikan dari ceramahnya Nick Barisheff - CEO and president of Bullion Management Group Inc.- pada acara seminar Investment Outlook 2011 di Montreal – Canada Jum’at pekan lalu. Menurut Nick ini ada setidaknya enam trend yang akan mendorong harga emas ke atas tahun 2011 dan tahun-tahun berikutnya.

Trend-trend yang oleh Nick dkategorikan sebagai Irreversible – yang tidak berubah atau tidak berbalik arah –  paling tidak sejauh mata dia memandang ini,  adalah sebagai berikut :

1) Central Bank Buying

Pendorong harga emas tahun 2010 antara lain adalah membengkaknya belanja emas yang dilakukan oleh beberapa bank central besar seperti Rusia, China dan India. Cadangan emas Rusia di kwartal ke 3 tahun 2010 saja naik 7 % menjadi 756 ton. China mengimpor hampir 210 ton emas di bulan Desember  2010, sedangkan India pembelian emas oleh bank central-nya plus pembelian swasta  di duga mencapai 750 ton sepanjang tahun lalu.

Trend ini akan terus ada di tahun 2011 dan bahkan tahun-tahun sesudahnya karena untuk membuat cadangan emas Rusia dan China mendekati rata-rata negeri barat saja, Rusia membutuhkan tambahan cadangan sekitar 1,000 ton sedangkan China masih membutuhkan tambahan sekitar  3,000 ton lagi. Demand emas akan terus tinggi , sementara supply relatif tidak banyak perubahan.

2) Movement Away From US$

Tahun 2009, China , Rusia dan Perancis diduga secara diam-diam telah mulai meninggalkan US$ untuk perdagangan minyaknya dengan negeri-negeri Arab.  Tahun 2010 lalu, secara resmi Rusia dan China mengakui bahwa mereka tidak lagi menggunakan US$ untuk perdagangan bilateral antar kedua negara – tidak terbatas pada perdagangan minyak saja.

Ini memberikan sinyal kuat ke seluruh dunia bahwa untuk perdagangan antar negara, penggunaan US$ tidak lagi menjadi suatu keharusan. Bila International Demand terhadap US$ menurun – sementara US$ supply terus digenjot melalui Quantitative Easing – maka jelas harga barang-barang dalam US$ akan melonjak karena daya beli US$ yang turun.

3) China

Di China bukan hanya pemerintah melalui bank central-mya yang getol menaikkan cadangan emasnya. Rakyatnya-pun di dorong dan dipermudah oleh pemerintahnya untuk membeli emas. Dengan penduduk yang mencapai lebih dari 1.3 milyar jiwa dan dengan tingkat penghasilan yang terus meningkat, maka demand emas dari China akan terus mengkatrol harga emas ke atas.

4) The Aging Population in US

Baby boomers” yaitu ledakan penduduk yang lahir di Amerika paska Perang Dunia II tahun 1946 s/d 1963 berangsur-angsur memasuki usia pensiun. Amerika sedang menghadapi meningkatnya jumlah penduduk yang pensiun ini. Sedangkan jumlah tenaga kerja paska baby boomers ini cenderung menciut jumlahnya. 

Artinya adalah akan semakin banyak jumlah orang pensiun – yang memerlukan dukungan dana pemerintah untuk mendanainya – sementara kontributor terhadap pendapatannnya dari pajak perorangan akan cenderung menurun karena jumlah pekerja yang semakin sedikit. Untuk membiayai para pensiunan yang lebih banyak ini pemerintah tidak ada cara lain kecuali ‘mencetak uang dari awang-awang’. Unfunded liability pemerintah yang terus membengkak dibarengi dengan pencetakan uang secara besar-besaran – pasti berdampak pada penurunan daya beli US$ yang terus menerus.

Menurut catatan Nick Barisheff ini, lima mata uang terbesar dunia termasuk US$ telah kehilangan 70%-80 % daya belinya terhadap emas selama 10 tahun terakhir. Emas sejatinya bukan terus naik harganya, tetapi mata uang yang dipakai membelinya-lah yang terus menyusut daya belinya.

5) Outsourcing

Industri besar Amerika yang beberapa diantaranya sekarang masih menguasai dunia seperti komputer , notebook, handphone misalnya, mereka memilih memproduksi barangnya dengan cara meng-outsource-kan produksinya ke negara lain yang lebih murah cost of production-nya. Dampaknya negeri itu akan terus kehilangan banyak lapangan kerja.

Dampak berikutnya ketika orang tidak bekerja adalah mereka juga mengurangi konsumsi barang dan jasa. Jadi system outsourcing yang kini semakin popular di Amerika dan bukan hanya pada bidang manufacturing tetapi juga melanda bidang-bidang jasa sperti accounting services, administration, data entry, call centre dlsb. akan secara berlipat ganda berdampak pada GDP negeri itu.

Ketika GDP tidak lagi tumbuh atau bahkan turun, maka tumpukan hutang negeri itu akan semakin menggunung dan uangnya akan semakin berkurang daya belinya.

6) Peak Oil

Yang dimaksud dengan Peak Oil adalah tingkat produksi minyak yang telah mencapai puncaknya dan akan menurun setelah itu. Peak Oil ini sudah terjadi di beberapa sentra produksi minyak dunia seperti  AS ,  Alaska dan North Sea. Sentra-sentra produksi lainnya akan segera mrenyusul.

Meksiko misalnya yang sekarang menjadi salah satu supplier terbesar minyak Amerika, beberapa tahun mendatang tidak akan lagi bisa mengekspor minyaknya. Sebaliknya mereka malah akan butuh impor minyak untuk menopang ekonominya sendiri. (Ini mirip Indonesia yang  sudah lebih dahulu menjadi net importer untuk minyak, meskipun untuk energi secara keseluruhan - termasuk didalamnya gas dan panas bumi - Indonesia masih net eksporter).

Walhasil secara keseluruhan dari 6 trend hasil  pengamatan dan analisa yang dilakukan oleh pelaku ekonomi barat sendiri seperti Nick Barisheff ini, kita bisa simpulkan bahwa masa depan Amerika dengan US$-nya sedang memasuki era doomy gloomy  - era masa depan suram menyerupai kiamat – sepertinya there is no tomorrow for US$ !. Menjelang ajalnya US$ tetap ada dan tetap bisa untuk membeli barang dan jasa, tetapi apapun yang dibeli dengan US$ akan terus melonjak harganya – termasuk tentu saja emas. Wa Allahu A’lam. (Muhaimin Iqbal, Owner Gerai Dinar, 10 januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar