Minggu, 02 Januari 2011

Entrepreneurship : Inginkah Anda Masuk Ke Sekolah Business Terbaik…?.

Tergelitik dengan sebuah artikel di harian Kompas kemarin (30/12/2010) yang menyatakan bahwa di Indonesia kini hanya ada sekitar 0.18%  (+/- 426,600)dari jumlah penduduk Indonesia (237 juta) yang jadi wirausaha, saya jadi terdorong untuk ikut bisa berkontribusi dalam melahirkan atau setidaknya ikut serius memikirkan bagaimana kita  bisa melahirkan hampir 2 juta lagi wirausaha yang dibutuhkan negeri ini – sekedar untuk melewati angka 1 % dari jumlah penduduk, agar kita bisa memenuhi KPI kita-kita dalam melaksanakan perintah untuk memberi makan.

Saya tahu pastinya instansi-instansi yang terkait dari pusat maupun di daerah juga telah memikirkan dan berbuat tentang hal ini, namun kontribusi orang swasta seperti kita-kita juga amat sangat dibutuhkan – lagi pula masing-masing kita juga memiliki tugas untuk menciptakan pekerjaan ini seperti yang sudah pernah saya tulis dalam link tersebut diatas.

Lantas dari mana memulainya ?, kalau melihat rendahnya jumlah wirausaha negeri ini seperti data yang terungkap di atas – pasti ada sesuatu yang seriously wrong di negeri ini yang menghambat tumbuhnya para wirausaha.  Salah satu yang seriously wrong ini pernah saya tulis hampir setahun lalu dengan judul “Tantangan Untuk Negeri Di Ranking 122…”.

Yang kedua adalah masalah pendidikan, meskipun beberapa sekolah business telah lahir di negeri ini – jumlahnya masih amat sangat sedikit ketimbang sekolah-sekolah lain yang pada umumnya tidak mempersiapkan lulusannya untuk siap terjun menjadi wirausaha.  Namun kalau toh Anda belum sempat mengecap sekolah business yang baik ini, Anda tidak perlu kawatir – karena ada sekolah business yang terbaik yang siap menanti Anda memasukinya kapan saja Anda mau.

Keberadaan sekolah business terbaik ini saya pelajari dari salah satu entrepreneur dan penulis terpopuler dunia yaitu Robert T. Kiyosaki. Robert ini pernah menjadi pilot angkatan laut Amerika ketika negeri itu terlibat dalam perang yang tidak bisa dimenangkannya yaitu perang Vietnam. Saat itu korban dari Amerika begitu banyaknya sehingga setiap missi yang dilakukan, ancaman kematian begitu nyata di depan mata.

Lantas bagaimana Robert menghadapi ‘misi bunuh diri’ ini ?, Entah dia berdo’a ke siapa – tetapi dia berdo’a bukan untuk tetap hidup – tetapi berdo’a untuk mati tidak sebagai pengecut, dia ingin mati terhormat – dan tidak ingin ketakutan akan kematian menghalangi dia untuk berbuat sesuatu terhadap negerinya – meskipun saat itu dia sendiri ragu apakah yang dilakukan negerinya tersebut benar atau salah.

Sikap ini rupanya yang mempengaruhi apa yang dilakukannya kemudian ketika selamat kembali ke negaranya, apa yang dilakukannya berbeda dengan veteran perang pada umumnya. Dia tidak mencari pekerjaan yang memberinya job security, apalagi minta santunan pemerintahnya. Dia siap menghadapi lembah kematian –death valley- berikutnya , yaitu death valley-nya para pengusaha.

Dengan berani menghadapi ‘kematian’ ini, dia mencoba satu demi satu usaha – tentu banyak yang gagal – tetapi sejarah hidupnya kemudian mencatat juga begitu banyak yang berhasil. Bahkan pengalaman keberhasilannya dalam usaha dan investasi menjadi inspirasi bagi jutaan orang lain di dunia.

Lantas dimana sekolah business terbaik yang Robert Kiyosaki pernah masuki untuk mencapai keberhasilannya tersebut ?.  Berdasarkan pengakuan dia sendiri, sekolah terbaiknya adalah pengalaman hidupnya. Belajar dari kegagalan dan kesalahan, belajar menghadapi rasa takut (istilah saya ayub-ayuben) dalam hidupnya – itulah sekolah business terbaik yang dia miliki.

Pengalaman Robert membangun usaha dan portofolio investasi ini juga sejalan dengan rumusan pakar pendidikan Edgar Dale yang menghasilkan apa yang disebutnya cone of experience atau kerucut pengalaman. Berdasarkan rumusan cone of experience seperti dalam grafik dibawah, pelajaran terbaik adalah memang dari ‘do the real thing’.

Cone of ExperienceCone of Experience
 
Sedangkan membaca dan mendengar adalah merupakan sarana belajar yang paling buruk. Jadi disinilah rupanya masalahnya mengapa wirausaha di negeri ini jumlahnya masih begitu kecil. Ketika kita sekolah, kita menuntut ilmu mayoritasnya hanya melalui cara membaca dan mendengar. Ketika kita sudah mapan bekerja di institusi kenamaan, kita bercita-cita ingin menjadi pengusaha – tetapi yang kita lakukan juga lebih banyak sebatas membaca buku dan mendengar cerita sukses orang lain.

Nah kinilah saatnya kita ‘do the real thing’ tersebut dan siap menghadap death valley dengan tegar. Lebih dari 1400 tahun sebelum Edgar Dale menemukan Cone of Experience-nya; Uswatun Hasanah kita Rasulullah SAW sudah mengajarkan ke kita tentang hal yang amat sangat penting yang perlu kita lakukan dalam hidup kita yaitu amal shaleh. Ilmu saja tidak cukup bila tidak di amalkan. Para pejuang-pejuang Islam yang mengikuti beliau – kemudian juga memiliki cara tersendiri dalam mengembangkan seni menghadapi ‘kematian’ ini yaitu dengan tekad untuk Isy Kariman Au Mut Syahidan – Hidup Mulya Atau Mati Syahid.


Kalau Robert Kiyosaki saja bisa begitu sukses karena dia tidak takut menghadapi death valley dalam hidupnya, kita yang memiliki iman dan tujuan hidup yang lebih mulya – insyaAllah juga memiliki kesempatan sukses yang sama, bila kita juga melakukan hal yang sama – belajar dari sekolah bisnis terbaik yang sama pula – yaitu sekolah business yang disebut ‘do the real thing !’. InsyaAllah. (Muhaimin Iqbal, Owner Gerai Dinar, 31 Desember 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar